Selama lebih dari 64 tahun kemerdekaan, mahasiswa Indonesia menempati posisi yang begitu vital, baik dalam perubahan politik, kontribusi pembangunan, serta bagian dari gerakan massa yang tidak mewacanakan perubahan. Mahasiswa Indonesia telah mentanfidzkan diri sebagai “pilar kelima demokrasi” –meminjam wacana Hariman Siregar— dan memosisikan diri dalam peran kontrolnya terhadap rejim politik. Karakter mahasiswa Indonesia ini jarang dimiliki oleh mahasiswa di negara lain. Di Malaysia, misalnya, eksistensi Barisan Nasional selama lebih dari 3 dekade dapat dijelaskan melalui fenomena tidak berfungsinya kelas menengah dan mahasiswa sebagai kekuatan masyarakat sipil yang menjadi “hegemoni tandingan” –dalam kamus wacana Gramscian (Simon, 1999)— dari masyarakat politik yang bermain di ranah kekuasaan.Begitu pula di Singapura yang terkenal dengan korporatisme negara sebagai alat kontrol oposisi. Pengecualian mungkin hanya dilakukan untuk Filipina tahun 1986, itu pun dengan catatan ada kekuatan lain yang bermain dan gerakan mahasiswa tidak bertindak sebagai intelektual organik ataupun hegemoni dari gerakan massa tersebut.Sehingga, peran mahasiswa Indonesia pun menjadi sedikit lebih “maju” dibandingkan dengan mahasiswa di negara lain. Anders Uhlin (2003) dalam disertasinya tentang “gelombang demokratisasi ketiga di Indonesia” menempatkan mahasiswa sebagai salah satu aktor penting dari gerakan prodemokrasi yang menumbangkan rejim otoritarian Suharto. Bahkan, menurut catatan Francois Raillon (1985), pada era Orde Baru pun gerakan mahasiswa juga menjadi aktor yang sentral kendati akhirnya dikooptasi oleh Soeharto pada akhir 1970-an.Sebuah OtokritikPersoalannya, masihkan gerakan mahasiswa menjadi seperti yang ditulis oleh Anders Uhlin atau Francois Raillon di atas? Saat Orde Baru mendepolitisasi kampus pada 1978, saat itu pulalah spirit gerakan itu memudar. Kendati sempat bangkit pada awal 1990-an, sinar gerakan itupun kembali meredup sehingga lambat laun terjadi dikotomi antara aktivis pergerakan dan mahasiswa-mahasiswa akademis di kampus. Argumen tersebut dapat kita elaborasi dengan fakta bahwa di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, jumlah pemilihan pada Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) tiap tahunnya tidak mengalami kenaikan jumlah yang signifikan. Tercatat, hanya sekitar 1.000-1.200 mahasiswa Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemira dari sekitar 10.000 jumlah mahasiswa Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, tidak sampai 50% dari jumlah mahasiswa. Malah kurang dari 50% yang mengunakan hak pilihnya. Apa makna data tersebut? Dengan logika berpikir yang sederhana, kita dapat menyimpulkan bahwa minat mahasiswa untuk berpartisipasi secara aktif maupun pasif dalam aktivitas “politik” di kampus tidak lagi besar. Terlepas dari persoalan data ini turun atau naik kuantitasnya, kita dapat mengatakan bahwa muncul sikap skeptis dari kalangan mahasiswa non-pergerakan mengenai masa depan gerakan mahasiswa Indonesia.Temuan di atas memunculkan pertanyaan: apakah sekarang mahasiswa Indonesia sudah terdepolitisasi dan apatis dengan hal-hal yang berkaitan dengan gerakan mahasiswa? Apa yang salah dari format gerakan mahasiswa Indonesia saat ini?Tradisi Intelektual Lantas, apa yang terjadi pada gerakan mahasiwa sekarang? Dengan krisis politik mahasiswa di beberapa kampus berskala nasional, perlu ada pembenahan wajah gerakan mahasiswa intrakampus. Sudah saatnya gerakan mahasiswa, intrakampus ataupun ekstrakampus, merekonstruksi wacana dan agenda gerakan ke depan. Gerakan mahasiswa, menurut penulis, hakikatnya adalah gerakan intelektual. Fakta sejarah bercerita pada kita bahwa para aktivis mahasiswa adalah calon-calon pemimpin bangsa di masa depan. Figur tokoh muda seperti selamat subroto, sahadeni, sudirman, miftahul ridho, dan lain sebagainya adalah figur yang lahir dan besar dari entitas sederhana bernama senat mahasiswa / gerakan Mahasiswa dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)..Artinya, kita pun sampai kepada kesimpulan bahwa mahasiswa saat ini adalah intelektual masa depan. Di sinilah posisi mahasiswa: sebagai gerakan intelektual, gerakan mahasiswa dituntut untuk memiliki konsep dan gagasan yang komprehensif mengenai visinya dalam mewarnai pembangunan bangsa. Maka, gerakan mahasiswa tidak hanya diidentikkan dengan aksi demonstrasi, tetapi juga penelitian, pemberdayaan masyarakat, menulis, atau diskusi-diskusi rutin. Tradisi intelektual mahasiswa, seperti membaca, menulis, riset, dan diskusi perlu disemai kembali oleh gerakan mahasiswa. Untuk membangun legitimasi, gerakan mahasiswa juga perlu mengkonstruksi visi bersama yang membumi dan diterima oleh segenap mahasiswa. Aksi dan program juga perlu melibatkan semua entitas mahasiswa secara partisipatif atas dasar tradisi intelektual.
Posting Komentar
Enter your email address:
Delivered by FeedBurner
0 komentar:
Posting Komentar