SATU KATA YANG PANTAS AKU UCAPKAN ADALAH UCAPAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA.....!!! JANGAN LUPA KOMENT YA....!!!!!!

Senin, 24 Mei 2010

SEJARAH LAHIRNYA PMII


PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Students Movement), dalam bahasa jawanya adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU. Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.

Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa Nu bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis seakli. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU ( PMII ), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi. Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini nsudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan organisasi IPNU, yang kemudian dep[artemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah selama tiga hari(14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah(Sekarang UNSURI) Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.

Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu…maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU pada tanggal 17 April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ). Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak NU yang ada di organisasi lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka ( Mahasiswa NU ) , bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu golongan yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah anderbownya partai Masyumi, sehinggga wajar kalau mahasiswa NU di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur ( 1987 ), beliau mengatakan bahwa PMII merupakan cermin ketidakpuasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis ( Muhammadiyah ) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Masyumi. Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dari makna dari kelahiran PMII:

• Bahwa PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang ada di Perguruan Tinggi .
• PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim ( NU ) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
• PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Waljama’ah dikalangan mahasiswa.
• Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka ( Mahasiswa NU ) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai MASYUMI.
• Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.

Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri. Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi pembelahan diri anak ragil NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secar merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggungjawab. Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.

Minggu, 23 Mei 2010

Penataan Gerakan Mahasiswa

Selama lebih dari 64 tahun kemerdekaan, mahasiswa Indonesia menempati posisi yang begitu vital, baik dalam perubahan politik, kontribusi pembangunan, serta bagian dari gerakan massa yang tidak mewacanakan perubahan. Mahasiswa Indonesia telah mentanfidzkan diri sebagai “pilar kelima demokrasi” –meminjam wacana Hariman Siregar— dan memosisikan diri dalam peran kontrolnya terhadap rejim politik. Karakter mahasiswa Indonesia ini jarang dimiliki oleh mahasiswa di negara lain. Di Malaysia, misalnya, eksistensi Barisan Nasional selama lebih dari 3 dekade dapat dijelaskan melalui fenomena tidak berfungsinya kelas menengah dan mahasiswa sebagai kekuatan masyarakat sipil yang menjadi “hegemoni tandingan” –dalam kamus wacana Gramscian (Simon, 1999)— dari masyarakat politik yang bermain di ranah kekuasaan.
Begitu pula di Singapura yang terkenal dengan korporatisme negara sebagai alat kontrol oposisi. Pengecualian mungkin hanya dilakukan untuk Filipina tahun 1986, itu pun dengan catatan ada kekuatan lain yang bermain dan gerakan mahasiswa tidak bertindak sebagai intelektual organik ataupun hegemoni dari gerakan massa tersebut.
Sehingga, peran mahasiswa Indonesia pun menjadi sedikit lebih “maju” dibandingkan dengan mahasiswa di negara lain. Anders Uhlin (2003) dalam disertasinya tentang “gelombang demokratisasi ketiga di Indonesia” menempatkan mahasiswa sebagai salah satu aktor penting dari gerakan prodemokrasi yang menumbangkan rejim otoritarian Suharto. Bahkan, menurut catatan Francois Raillon (1985), pada era Orde Baru pun gerakan mahasiswa juga menjadi aktor yang sentral kendati akhirnya dikooptasi oleh Soeharto pada akhir 1970-an.

Sebuah Otokritik

Persoalannya, masihkan gerakan mahasiswa menjadi seperti yang ditulis oleh Anders Uhlin atau Francois Raillon di atas? Saat Orde Baru mendepolitisasi kampus pada 1978, saat itu pulalah spirit gerakan itu memudar. Kendati sempat bangkit pada awal 1990-an, sinar gerakan itupun kembali meredup sehingga lambat laun terjadi dikotomi antara aktivis pergerakan dan mahasiswa-mahasiswa akademis di kampus. Argumen tersebut dapat kita elaborasi dengan fakta bahwa di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, jumlah pemilihan pada Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) tiap tahunnya tidak mengalami kenaikan jumlah yang signifikan. Tercatat, hanya sekitar 1.000-1.200 mahasiswa Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemira dari sekitar 10.000 jumlah mahasiswa Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, tidak sampai 50% dari jumlah mahasiswa. Malah kurang dari 50% yang mengunakan hak pilihnya.
Apa makna data tersebut? Dengan logika berpikir yang sederhana, kita dapat menyimpulkan bahwa minat mahasiswa untuk berpartisipasi secara aktif maupun pasif dalam aktivitas “politik” di kampus tidak lagi besar. Terlepas dari persoalan data ini turun atau naik kuantitasnya, kita dapat mengatakan bahwa muncul sikap skeptis dari kalangan mahasiswa non-pergerakan mengenai masa depan gerakan mahasiswa Indonesia.
Temuan di atas memunculkan pertanyaan: apakah sekarang mahasiswa Indonesia sudah terdepolitisasi dan apatis dengan hal-hal yang berkaitan dengan gerakan mahasiswa? Apa yang salah dari format gerakan mahasiswa Indonesia saat ini?

Tradisi Intelektual

Lantas, apa yang terjadi pada gerakan mahasiwa sekarang? Dengan krisis politik mahasiswa di beberapa kampus berskala nasional, perlu ada pembenahan wajah gerakan mahasiswa intrakampus. Sudah saatnya gerakan mahasiswa, intrakampus ataupun ekstrakampus, merekonstruksi wacana dan agenda gerakan ke depan. Gerakan mahasiswa, menurut penulis, hakikatnya adalah gerakan intelektual. Fakta sejarah bercerita pada kita bahwa para aktivis mahasiswa adalah calon-calon pemimpin bangsa di masa depan. Figur tokoh muda seperti selamat subroto, sahadeni, sudirman, miftahul ridho, dan lain sebagainya adalah figur yang lahir dan besar dari entitas sederhana bernama senat mahasiswa / gerakan Mahasiswa dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)..
Artinya, kita pun sampai kepada kesimpulan bahwa mahasiswa saat ini adalah intelektual masa depan. Di sinilah posisi mahasiswa: sebagai gerakan intelektual, gerakan mahasiswa dituntut untuk memiliki konsep dan gagasan yang komprehensif mengenai visinya dalam mewarnai pembangunan bangsa. Maka, gerakan mahasiswa tidak hanya diidentikkan dengan aksi demonstrasi, tetapi juga penelitian, pemberdayaan masyarakat, menulis, atau diskusi-diskusi rutin. Tradisi intelektual mahasiswa, seperti membaca, menulis, riset, dan diskusi perlu disemai kembali oleh gerakan mahasiswa. Untuk membangun legitimasi, gerakan mahasiswa juga perlu mengkonstruksi visi bersama yang membumi dan diterima oleh segenap mahasiswa. Aksi dan program juga perlu melibatkan semua entitas mahasiswa secara partisipatif atas dasar tradisi intelektual.

Mau Berlangganan Artikel

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

RAYON AL GHAZALI MASA BHAKTI 2009-2010 © 2008 Por *Templates para Você*