Dr. Mulyadi Kartanegara dalam bukunya Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam (2002), memiliki harapan besar bahwa bangsa Indonesia bisa memainkan peranan intelektual yang vital dalam meraih apa yang disebut “renaissance ketiga”, karena memiliki aset yang sangat potensial dilihat dari keterbukaannya terhadap informasi dan pemikiran apapun yang datangnya dari luar. Menurut Doktor Filsafat lulusan Universitas Chicago Amerika Serikat ini, salah satu yang bisa kita lakukan adalah dengan melakukan penerjemahan karya-karya ilmiah sebanyak mungkin.
Almarhum Nurcholis Madjid juga pernah melontarkan pendapat senada, bahwa, dalam kondisi kita sekarang ini, jika kita tidak menerjemahkan, maka kita akan terisolasi secara intelektual. Ya, ketika kita berkaca pada sejarah kebangkitan tradisi intelektual peradaban-peradaban di dunia, maka pendapat bahwa gerak maju intelektualisme suatu bangsa dimulai dengan giatnya kegiatan penerjemahan, bukan lagi sekedar basa-basi. Bangkitnya intelektualisme Islam di abad pertengahan dengan semangat Al Qur’an dan Hadits, disertai pula dengan terciptanya iklim penerjemahan yang mapan. Para Khalifah di masa-masa keemasan Islam itu, baik Al Makmun dan cucunya, Harun Al-Rasyid di timur (Baghdad) maupun Amir Abdulrahman di barat (Andalusia) dikenal sebagai pemimpin yang aktif membangun dan membiayai lembaga-lembaga penerjemahan. Baitul Hikmah di Baghdad dan Maktabah Al-Hakam di Cordoba merupakan sedikit di antara sekian banyak pusat penerjemahan dan pusat kegiatan ilmiah para ilmuan dari berbagai agama dan golongan kala itu. Melalui lembaga-lembaga ini, karya-karya intelektual warisan Cina, India, Persia dan Yunani dialih bahasakan dengan baik ke dalam bahasa Arab oleh Hunain Ibn Ishaq, Al-Kindi, Al-Farabi dan Abu Utsman Al Dimasyki, untuk kemudian dikuliti, dibedah dan diambil sarinya sampai kemudian Islam mencatat sejarah gemilang intelektualisme sampai abad 14 M.
Demikian pula renaissance Eropa yang dimulai sejak abad 14 M hingga abad 16 M, dimulai dari kegiatan penerjemahan buku-buku karya intelektual muslim di Toledo dan Sisilia dari bahasa Arab ke bahasa Latin dan Ibrani oleh para penerjemah Latin dan Yahudi seperti Gudissalinus, Michael Scott dan Gerard of Cremona. Dari tangan mereka, kitab-kitab filsafat dan sains Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Jabir Ibn Hayyan dan terutama ratusan komentar Ibnu Rusyd terhadap karya-karya Plato dan Aristoteles menyebar ke barat. Akhirnya melalui khazanah pemikiran yang banyak dan bervariasi ini, barat kemudian melaju dalam bidang filsafat dan sains seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Sejarah Penerjemahan Di Negeri Ini
Di abad 19 M, pemerintah Hindia Belanda bagaimanapun diskriminatifnya, telah mendirikan sekolah yang memiliki jurusan-jurusan bahasa, seperti sekolah militer di Semarang (1819), Institut Bahasa Jawa (1832) dan sekolah guru bumi putera atau Kweekschool di Surakarta (1832). Demikian pula sejak diterapkannya politik etis atau “politik penebus dosa” oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda A. W. F. Idenburg di awal abad XX, dan diadakan perbaikan di bidang pendidikan (educatie) yang membuka kesempatan bagi bumi putera untuk mengenyam pendidikan formal seperti di HIS (Hollands Inlandsce School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemeene Middlebare School), maka pengajaran bahasa-sastra tetap menjadi perhatian penting. Sebagai contoh, di AMS jurusan A-1 diberi pelajaran sastra dan humaniora timur, sedangkan A-2 mempelajari klasik barat. Patut dicatat bahwa kualitas pengajaran bahasa di sekolah-sekolah ini cukup tinggi, sehingga tamatan AMS pada masa itu konon dipastikan dapat menguasai tidak hanya bahasa Belanda yang menjadi mata pelajaran wajib, tetapi juga bahasa-bahasa lain seperti Perancis, Inggris dan Jerman. Capaian penguasaan bahasa asing kala itu pun bukan semata terbatas pada percakapan (speaking) tetapi sudah sampai pada tahap pemakaian bahasa asing untuk keperluan literer yang mempuni (kegiatan membaca dan menulis). Penguasaan bahasa asing ini memungkinkan Soerkarno, Hatta, Syahrir, dan tokoh-tokoh seangkatannya dapat mengakses pemikiran tokoh-tokoh kelas dunia melalui buku-buku yang mereka baca langsung dari bahasa aslinya tanpa hambatan. Ini kemudian sangat penting dalam menginspirasi gerakan kebangkitan nasional yang kemudian mencapai Indonesia merdeka. Cukup puas dengan bahasa lisan. Entah mengapa, iklim pengajaran bahasa asing pasca kemerdekaan kemudian mengalami kemunduran, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru sampai masuknya Era Reformasi. Bahasa Inggris yang minimal telah dipelajari selama enam tahun, mulai kelas satu SMP sampai tamat SMA, ditambah berbagai kursus, English Club dan bimbel (bimbingan belajar) belum sepenuhnya bisa membuat para tamatan sekolah kita fasih berbahasa asing baik secara lisan maupun tulisan. Banyak yang sudah merasa cukup dengan penguasaan bahasa lisan (speaking), sementara masih sangat kurang yang tertarik memperlakukan bahasa asing terutama bahasa Inggris, sebagai alat pengakses pengetahuan (reading-translation) yang tersebar di berbagai media massa terutama internet. Angka ini tentunya semakin sedikit jika kita menghitung jumlah orang yang menulis dalam bahasa Inggris. Walhasil, di tengah silang informasi yang berlangsung begitu cepat, penguasaan Bahasa Inggris lisan ternyata tidak memberikan pengaruh banyak terhadap kemajuan intelektual di negeri ini. Sebab bahasa Inggris dengan target “serendah itu” akan berhenti sebatas prasyarat formalitas melamar pekerjaan. Hal ini jelas tidak salah, tetapi tentunya masih sangat kurang, sebab penguasaan bahasa Inggris terbatas formalitas sehingga hanya akan membuat kita memperlakukan bahasa Inggris sebagai “barang antik” yang sesungguhnya tidak bisa dipergunakan sebagai alat pembuka kunci berbagai literatur dunia, misalnya literatur di dunia maya yang sekitar 80 persen ditulis dalam Bahasa Inggris. Maka boleh dikata bahwa kemampuan kita berbahasa asing, utamanya bahasa Inggris masih tertinggal jauh dari para founding fathers kita. Inilah barangkali salah satu penyebab Almarhum Romo Mangunwijaya sampai berkata bahwa, generasi kita jauh terbelakang dibanding generasi 28.
Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Pendidikan Penerjemah
Kita mengharapkan standar penguasaan bahasa asing di sekolah-sekolah dan universitas-universitas lebih ditingkatkan lagi dari sekedar sebagai bahasa percakapan (lisan), menjadi bahasa literer (membaca dan menulis), walaupun kita juga mengamini bahwa untuk sampai ke penguasaan bahasa lisan saja kita masih kesulitan dengan minimnya fasilitas dan kualitas tenaga pengajar. Oleh karenanya, kita mengharapkan agar pendidikan nonformal seperti kursus-kursus, bimbel dan berbagai study club, tidak semata menawarkan menu penguasaan terhadap bahasa percakapan tetapi juga bagaimana memahami teks-teks yang ditulis dalam bahasa Inggris (menerjemahkan) dan yang lebih baik lagi tentunya bagaimana bisa mengkomunikasikan pikiran secara lisan dan tertulis dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Hal ini sangat penting, mengingat sampai sejauh ini, lembaga yang menawarkan pengajaran untuk menjadi penerjemah terbilang masih kurang dan terkesan eksklusif, seperti Fakultas Sastera Universitas Indonesia. Di samping itu, kita sangat memerlukan media massa, baik elektronik maupun cetak, yang bisa berpartisipasi dalam membina penguasaan literasi bahasa Inggris dari tingkat pemula sampai advance. Sekali lagi, ini tentu bukan hal yang mudah, akan tetapi juga bukan hal yang mustahil. Jika sasaran kita adalah menciptakan sebuah iklim intelektual, jelas akan membutuhkan tidak hanya satu metode seperti penguasaan bahasa internasional yang mungkin tidak akan bisa tercapai dalam waktu yang singkat. Akan tetapi dengan mencontoh negara-negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris tetapi dapat mencapai taraf penggunaan bahasa Inggris dengan lebih baik seperti India, Malaysia dan Singapura, maka kita tidak syak kalau model-model pengajaran mereka mungkin bisa kita tiru. Di samping itu, penguasaan bahasa internasional dengan lebih mapan tentunya akan menambah pula grade kita di dunia internasional. Misalnya, dengan bersenjatakan bahasa, di tengah sempitnya lowongan kerja di dalam negeri, bukankah minimal calon tenaga kerja kita bisa lebih leluasa mencari pekerjaan di seluruh dunia. Dengan demikian maka penguasaan bahasa asing adalah kata kunci yang tidak bisa kita lupakan. Jika penguasaan keterampilan bahasa, terutama keterampilan menerjemahan, yang diyakini oleh Dr. Mulyadi Kartanegara sebagai tahapan penting untuk membawa bangsa ini kepada “renaissance ketiga”, maka mau tidak mau, hal ini harus menjadi fokus perhatian kita, sepanjang kita masih memiliki pikiran positif tentang Indonesia di masa depan. Bukankah sejarah negeri ini pun telah membuktikan bahwa, melalui penguasaan bahasa asing yang optimal, para fouding farthers telah mencapai taraf kesadaran intelektual mumpuni hingga membawa sejarah negeri ini kepada sederet revolusi mengagumkan dimulai dari kebangkitan nasional 1908, sumpah pemuda 1928, dan Proklamasi 1945.
Bagaimana hubungannya dengan “renaissance ketiga”?
Sederet “futurolog klasik” negeri ini seperti Jayabhaya, R.M Surjo Winarso, Peramal Madiun Kiai Samin Suro Sentiko, Peramal Surakarta Kiai Mas Ngabehi Mangunwidjaja, Peramal Yogyakarta Puspaningrat, dan Dr. Fazlur Rahman dari Malaysia sampai futurolog kenamaan Negeri Paman Sam, Alfin Toffler, pernah meramalkan bahwa, di abad 21, Asia tenggara, khususnya Indonesia, memiliki peranan besar dalam mewujudkan sebuah renaissance? Tentu kita berharap bahwa ini bukan sekedar ramalan, dan memajukan penerjemahan, adalah langkah pertama kita.
PMII RAYON IBNU SINA
14 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar